Selasa, 01 April 2014

ANALISIS FILM "TANAH SURGA, KATANYA"

ANALISIS FILM “TANAH SURGA KATANYA”



Sebuah film karya Deddy Mizwar mengenai nasionalisme di perbatasan pulau Kalimantan. Film yang seakan “menampar” bangsa ini untuk sadar akan cinta tanah air. Film yang seharusnya mampu mengoyak para kelas berkuasa – jika mereka masih memiliki hati nurani –. Film yang sederhana tetapi begitu dalam pesan moralnya. Film yang memaksa kita untuk merenung sejenak dan merasakan seluruh bulu kuduk kita berdiri akan realita yang terjadi di negeri yang kaya raya (katanya) ini.

Bermula dari sebuah keluarga yang hidup sederhana, film ini mulai membawa penonton larut dalam alurnya. Seorang kakek yang berbagi pengalaman kepada cucunya ketika perang melawan malaysia pada akhir era orde lama. Hidup sederhana tetapi memiliki rasa nasionalisme yang tidak sederhana. Konflik pun selanjutnya muncul ketika seorang anak dari kakek dan ayah dari dua bocah yang masih polos mengajak keluarganya pindah ke negeri yang lebih makmur, yaitu Malaysia. Penolakan sang kakek menjadi awal konflik dalam film ini. Ditambah lagi si anak laki-laki memilih tetap tinggal bersama kakenya ketimbang ikut untuk merasakan hidup sejahtera di negeri seberang.

Pada latar yang berbeda, film ini juga menyadarkan rakyat Indonesia tentang bagaimana pendidikan dan kesehatan di daerah pelosok yang jauh dari pembangunan dan tidak mengenal rupiah sebagai alat tukar. Sekolah yang jauh kata layak. Satu ruang diberi sekat untuk dijadikan dua kelas. Sekolah yang hanya memiliki seorang guru yang “terjebak” untuk mengajar di daerah tersebut. Sekolah yang murid-muridnya hanya hafal lagu “kolam susu”. Walaupun terjebak, sang guru telah jatuh hati untuk tetap mendidik generasi penerus bangsa di perbatasan tersebut. Realitas kesehatan di perbatasan pun ditampilkan dengan apik. Bagaimana akses sangat terbatas ditampilkan dalam film ini. Eksklusi sosial di bidang kesehatan sangat terasa dengan tidak adanya fasilitas kesehatan yang memadai. Dengan konteks yang ditampilkan adalah seorang kakek yang bermasalah dengan jantungnya dan harus dibawa ke rumah sakit. Dengan keterbatasan transportasi dan jauhnya rumah sakit, kakek tersebut akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir di atas sampan dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Koruptor pun mungkin akan malu menonton film ini. Apalagi ketika sekolah yang reot di perbatasan tersebut kedapatan pejabat yang meninjau untuk memberikan bantuan. Pada awalnya semua berjalan lancar. Si pejabat mau memberikan bantuan untuk sekolah tersebut. Semuanya menjadi terbalik ketika seorang siswa membacakan seutas puisi dengan bait dari lagu “kolam susu” yang ditambahkan beberapa kata yang begitu membuat sang pejabat terhina dan tersinggung. Dalam sekejap saja bantuan yang telah dijanjikan langsung dibatalkan begitu saja. Begitu ironis ketika sebait puisi mampu memutarbalikkan rencana yang akan dilaksanakan.

Klimaks dari film ini adalah mengenai nasionalisme. Begitu banyak bagian dari cerita film ini yang menampakkan nasionalisme di garis terluar perbatasan negeri ini. Pertama, dari konflik dari sang kakek dengan anaknya tentang kehidupan yang sejahtera di negeri seberang dibandingkan dengan negeri sendiri. Quote-quote yang keluar pun sungguh mengenyak hati. Kedua, nasionalisme yang ditunjukkan dari alat tukar yang digunakan di daerah perbatasan. Ringgit lebih berharga daripada rupiah. Ketiga, tidak ada satupun warga bahkan kepala dusun sekalipun yang memiliki bendera merah putih. Hanya seorang kakek yang memilikinya dan dirawat dengan baik sejak bendera tersebut tidak lagi dikibarkan setelah masa peperangan dengan malaysia tahun 1965. Keempat, bagaimana para siswa tidak tahu bagaimana lirik dan cara menyanyikan lagu kebangsaan indonesia raya. Mereka menganggap lagu “kolam susu” adalah lagu kebangsaan indonesia. Kelima, bagaimana seorang anak rela menukar kain yang dibelikan untuk kakenya di negeri seberang dengan bendera merah putih yang dijadikan kain pembungkus dagangan di negeri seberang. Di akhir cerita, nasionalisme diangkat dengan apik ketika sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya dan memberikan wasiat yang begitu dalam kepada cucunya.

Analisis konten

Film tersebut menunjukkan dengan apik bagaimana realitas perbatasan di Kalimantan dengan Malaysia. Bagaiamana harga diri bangsa dipertaruhkan di garda terluar negeri ini. Ketimpangan ekonomi yang begitu jelas terlihat telah menunjukkan jauhnya taraf hidup bangsa kita dengan negara tetangga. Tidaklah heran ketika banyak generasi bangsa ini menukarkan nasionalismenya dengan materi dan kehidupan yang lebih layak dibandingkan di rumah sendiri.

Eksklusi sosial pun begitu tampak di daerah perbatasan. Bisa dikatakan mereka yang hidup disana mengalami eksklusi berganda. Eksklusi dibidang pendidikan, ekonomi, kesehatan bahkan eksklusi sosial terlihat dengan kebutuhan yang paling mendasar disegala sisi kehidupan. Dalam konteks lokal masyarakat perbatasan mengalami eksklusi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan oleh orang-orang yg telah menggadaikan nasionalismenya ke negeri seberang. Sedangkan dalam konteks nasional, eksklusi sosial dirasakan ketika mereka berhubungan langsung dengan negeri seberang. Indonesia pun secara tidak langsung dilecehkan. Dengan tampilan ketika bendera merah putih hanya diperlakukan sebagai kain pembungkus dagangan yang tidak memiliki arti dan nilai.

Korupsi dan kesewenang-wenangan para pejabat pun tidak luput dari radar skenario film ini. Bisa dikatakan kondisi yang ditampilkan pada film ini benar-benar terjadi pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya. Kalau boleh dikatakan, jangan bermain api dengan para pejabat jika tidak ingin diberangus dan dilupakan oleh para pejabat. Begitu keji perbuatan pejabat yang ditampilkan dalam film ini. Kepentingan pribadi dan kelompok selalu didahulukan tanpa melihat bahwa mereka hidup dari uang rakyat dan mereka adalah pelayan rakyat yang seharusnya melayani rakyat yang memiliki hak untuk diurus oleh negara.

Analisis non-konten

Penulis melihat film ini tidak total menggambarkan realita perbatasan di pelosok Kalimantan. Kalau boleh penulis umpamakan, film ini seakan sayur tanpa garam dan kurang nampol untuk menyentil mereka yang duduk manis di kursi mewah negara ini. Penulis yakin – lihat tulisan CATATAN KECIL DARI PAPUA – bahwa permasalahan di perbatasan tidak hanya sekedar yang ditampilkan oleh film ini. Tidak hanya menyoal menggadaikan nasionalisme demi materi. Tidak hanya melulu tentang kemiskinan. Tetapi juga tentang permasalahan kehidupan yang begitu kompleks dan dapat dijadikan bahan utama untuk mengkritik dan memukul mundur para penguasa yang duduk manis di senayan.

Kalau boleh penulis katakan, film ini sudah banyak direduksi ketika proses perizinan. Hanya realita-realita yang tidak menohok yang boleh ditampilkan. Sedangkan realitas yang jauh lebih kompleks harus diabaikan dan tidak boleh diumbar ke khalayak umum. Tidaklah heran penulis dengan hal ini. Bagaimanapun juga, film ini dibuat demi kepentingan industri. Industri yang mendewakan keuntungan dengan berbagai cara yang salah satunya melalui film yang bertajuk nasionalisme. Terlepas dari sisi gelap kondisi tersebut, penulis mengacungkan jempol dengan adanya film ini. Setidaknya film ini telah membuka hati setiap orang tentang kondisi di daerah perbatasan di pelosok Kalimantan....