Senin, 20 April 2015

ADA SALJU DI AFRICA

Merahnya senja kian tertutup oleh awan.
Semakin tak berdaya dalam berkata, dalam anganku hanya bergumam secarik kata yang kusebut dengan nostalgia.

Senin, 06 April 2015

PUISI

"Berantah"

Entahlah aku pasang jala
Mana tau yang ku tangkap menawan bisa
Bait demi baitpun tak seirama
Makin menjadi dalam periuk api
Manalah dia hanya sekeping lampau mu
Benahan masa lalu hatinya
Yang kian membakar hati
Aku melaju tanpa topan
Merangkak bertopang dalam jelmaan asa
Mana bisa kau membakar sekam?
Bukan padam malah kian berkilau
Entah berantahlah kaulah kaulah
Sang kepingan lalu

Sabtu, 04 April 2015

PUISI

"MURAM"

Aku meretas asa
Ketika menyulam ratusan angan yang jatuh
Aku mendongak keatap
Dengan lagaku
Beranikah aku?
Melawan duka dunia yang geram

Kamis, 18 September 2014

CERPEN

 Bu?

"Bu kalau saja dulu......" Aku tertunduk dalam. Terpukur menatap pusara.
Napasku tersengal.
Kabut mengambang di pekuburan desa, pohon kamboja terlihat bayang-bayang syahdu.
Senja itu aku tersuruk tanpa arah didepan pusara Ibu.
Matahari hampir tenggelam di kaki langit, hanya saja masih menyisakan semburat merah.
Aku datang ke pekuburan desa ingin bercerita sekelumat kisah lalu di masa depan kepada Ibu.
Tengok kesisi kiri terdapat pusara tertinggi di pekuburan itu terlihat banyak kamboja layu dan bekicot-bekicot yang lelet berjalan ditepi pusara.
Semua kenangan itu terpahat jelas, sama seperti menyimak layar tancap yang terputar dipelupuk mata tanpa kurang seadegan manapun.
"Bu mengapa dulu Ibu mau mengandung bahkan melahirkan bayi laki-laki itu? Mengorbankan nyawa Ibu hingga sedemikian rupa? Betapa Ibu?" tertunduk aku menyimpan puluhan tetes air mata yang tertimbun dikantung mataku.

Kamis, 21 Agustus 2014

PUISI

Geram

Daku bungkam
Menggumam secarik bait
Kata yang melankolis
Sayu sungguh
Muram benar wajah beliau
Lempar batu sembunyi tangan
Untung saja daku tahan kias
Tahan tapa, biarlah beliau geram
Geram dengan permainan poroknya
Memecahkan teka-teki kesunyian

PUISI

Merais Raib
( r a n t a i )

Rimbun nyiur dipulau kertas
Tetesan tinta mengeram merah
Marah, dendam kesumat mulai penat
Mendengar daripada percikan air
Air besar batu bersibak
Hampir aku bersin karena sekam
Sekam yang menimpal didadaku
Serasa sesak
Manakala kerlip bintang mulai lagi
Dalam main tedeng aling-aling
Namun tampak seperti banyolan
Sungguh tabu untuk dikukuhkan
Raib sungguh sungguh raib merais
Merais sisa raib asa semu

Senin, 11 Agustus 2014

PUISI

Sendu Daku
00.00

Kuteropong dari dekat atapku mulai gelap
Kerlip binatang angkasa yang meraung kelaparan
Persendianku mulai nyeri tertimpa air tuba
Entahlah............
Daku tersentuh oleh lantunan itu
Nyaring didadaku
Sungguh............
Mengapalah mengapa ada tetesan embun suci
Tepat melintasi pelipisku
Apakah kurangnya sadarku? Hingga?
Daku semakin terperosok dalam-dalam
Bangkitkanlah daku
Tetesan embun suci ini membuatku terpukau
Bukan bak kau kira
Daku terpukau