Selasa, 29 Oktober 2013

CERPEN : Malangmu Tak Seharusnya














Terik matahari tlah membakar sebagian pori-pori kulitku , lalu-lalang kendaraan dan kebulan asap yang membulat membuat dadaku semakin sesak. Debu yang bertebaran ditambah lagi sampah-sampah pasar yang menumpuk disudut barat pasar. Beberapa pedagang berteriak bersautan dengan pedagang lain yang membuat suasana pasar semakin rusuh. Berdesak-desakan , aku tak dapat melihat apapun hanya saja yang kudapati melihat punggung-punggung orang-orang pasar yang telah basah dengan keringat. Siang itu aku berniat 'tuk kepasar membeli bahan-bahan untuk tata boga esok. Aku berjalan menutupi hidung dan mulut dengan sampiran kerudungku.Disaat aku melangkahkan kaki kesamping tiba-tiba aku tersontal jatuh karena kuli yang membawa satu keranjan labu besar menyontengku sehingga aku jatuh tersungkur tepat di depan toko mainan. Untung saja tak banyak orang disana sehingga aku tak mati terinjak siang itu. Perlahan aku mencoba bangun dan sesekali mengibaskan rok bagian belakang yang tlah kotor karena terjatuh. Tiba-tiba mataku terpaku pada sesosok wanita sebayaku yang berbaju merah tlah luntur , lusuh juga compang-camping disamping tepat bahunya. Ia menggendong bayi yang kukira umurnya tak pantas untuk menggendong bayi jika benar itu bayinya. Aku berjalan dengan pincang dan mendekati wanita itu , dia menoleh kearahku dan menatapku dalam-dalam seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku belum tersadar dalam lamunanku dan ketika kuingat lagi ternyata wanita itu ialah temanku sewaktu aku duduk dibangku Sekolah Dasar. "Susi?" tanyaku sambil mengacungkan jari telunjuku kearahnya dengan nada mengejutkan baginya. Ia pun berlari terseok-seok dan menangis memeluk bayi yang ada digendonganya. Aku tak tahu apa yang membuatnya ketakutan seperti itu , aku pun berlari mengejarnya. "Hampir lagi" kataku dalam hati , akhirnya kuraih dan kutepuk pundaknya perlahan dan kuhembuskan nafas kesal karena tlah mengejarnya terlalu jauh.
   "Susi kenapa kau berlari? Ini aku teman SD mu dulu. Kau ingat bukan?" pandanganku tajam dan kukembangkan senyum lebar diraut mukaku untuk menyambutnya.
   "Ma...ma..af kau sa...lah orang" Sautnya dengan terbata-bata seperti orang linglung dengan menutupi wajahnya dengan kain gendongan corak batik yang telah lusuh dan luntur juga pada beberapa bagian tlah sobek.
   "Aku ingat betul wajahmu Sus , tak mungkin meleset lagi" wajahku berubah serius dengan mengangkat alis dan menatapnya dalam-dalam.
   "Iya ini aku Susi Setyawati teman lamamu dulu , aku malu kukira kau sudah jijik denganku" jawabnya sambil mengusap-usap kening bayinya yang teridur karena lelah kepanasan.
   "Apa katamu?" sautku tak paham
Tiba-tiba ia melihat seragam putih abu-abu yang kukenakan saat itu. Dan ia pun menangis tersedu-sedu , aku merasa tak enak dipandang banyak orang akhirnya kurangkulnya dan kuajak disebuah warung makan dan kupesankan teh panas untuknya.
   "Kau kenapa menangis seperti itu? ini minum dulu agar kau sedikit lega" kusodorkan segelas teh panas untuknya.
   "Aku malu , kau mengenakan seragam putih abu-abu sedangkan aku? seharusnya aku sama sepertimu!    namun? aku hanya mengenakan pakaian tak layak apalagi ditambah aku menggendong bayi tak terawat ini sungguh aku malu" Tangisnya semakin menjadi-jadi , sesekali ia memukuli dadanya yang sesak karena tlah lama menangis tanpa jeda seperti itu.
   "Ceritakan padaku kenapa kau bisa seperti ini" tambahku sambil merangkul pundaknya dan tersenyum sedih menatapnya.
   "Saat aku mengandung bayi ini diluar nikah dan kini ayah dari bayi ini menhilang bak ditelan bumi apalagi kini kedua orang tuaku tak menganggapku sebagai anaknya. Aku diusir!!!" sahut Susi dengan menangis sampai tak terdengar lagi suara yang keluar dari mulutnya lagi.
   "Kau serius?" selaku ragu-ragu dengan alis terangkat dan sesekali membenarkan letak kaca mataku yang turun melalui tulang hidungku yang agak melengkung.
   "Aku terpaksa lulus terlebih dahulu daripada teman-temanku tepatnya 3 bulan sebelum ujian aku berniat untuk berhenti pada SMP saja , dan bodohnya aku hanya menghabiskan masa mudaku dengan hal yang tak pantas sehingga kau lihat bukan? inilah akibatnya dan aku sungguh menyesal dan ingin menghapus kesalahan lampauku" Jelas Susi kepadaku sampai aku tertegun tak bisa mempercayai apa yang kudengar tepat 3 detik lalu.
   "Sudah yang terjadi-terjadilah sebaiknya kau luruskan hidupmu dengan apa yang kau pikirkan saat ini" Tepuku ke pundak Susi.
   "Ini sedikit rezeki untuk bayimu itu maaf jika terlalu sedikit karena kau tahu bukan? aku ini masih pelajar dan belum bekerja. Jadi.................... hanya ini saja yang kupunya" Kusodorkan 2 lembaran uang sepuluh ribuandan tak tersadari saat aku melihat bayi yang malang itu aku menjatuhkan air mataku seakan aku ikut hanyut dalam kehidupan Susi. Bayinya yang hanya mengenakan baju bayi yang telah lusuh dan kotor semakin membuat seolah nafasku pun terhenti serentak dengan detak jantungku. Saat itu aku benar-benar tak dapat bernafas seolah ada tali yang melilit dadaku erat-erat aku sungguh sesak dan lemas melihat Susi dan bayinya.
Sambaran petir siang itu tak pernah diduga seisi pasar karena baru saja 1 jam yang lalu terik matahari menjerat bumi dan siapa menduga sian itu sambaran petir dimana-mana dan tak lama hujan deras turun.
Hujan pun murka tanpa memberi jeda untuk reda nya hujan siang itu. Udara yang dingin membuat bayi Susi menggigil dan mendadak bibir dari bayi mungil itu berubah menjadi ungu memar tak tega akupun memberikan jaket yang kukenakan kepada Susi.
   "Ini selimutkan ke anakmu , tampaknya ia benar-benar menggigil" Sambil menyodorkan sweeter jinggaku ke Susi yang sedang memeluk erat bayi yang digendong nya.
   "Te...terima ka...kasih se...kali kau memang baik" saut Susi sambil menyelimutkan sweeterku ke anaknya sampai menutupi leher bayi mungil itu.
Hujan pun mereda langit mendung tetap saja terlukiskan di awan membentang sana , saat itu aku berniat untuk pulang kerumah dan meninggalkan Susi dan bayinya  seorang diri disudut timur pasar yang sudah sepi disana. Aku hanya melontarkan senyuman perpisahan dengan menundukan kepalaku sedikit untuk lebih menghormatinya dan aku melangkah kedepan dengan tetesan air mata.

Selasa, 22 Oktober 2013

CERPEN : Lirik Rinduku Buuu









Disofa depan Ivay duduk meringkuk dengan posisi tangan mendekap kedua kaki dan tenggelam dalam lamunan gilanya.
Ia menatap keluar jendela dengan tatapan mata kosong dan melihat anak kecil yang kiranya berusia 5 tahun sedang bermain lompat tali bersama ibunya. Ia teringat pada sosok ibu yang ia dambakan , ia ingat betul saat kematian ibunya disaat ia berumur tepat 5 tahun. Tak butuh waktu lama untuk mengahayati semua itu Ivay pun menangis dan sesekali mengucapkan kalimat keji
     "Aku ingin mati Bu! menusulmu! bermain lompat tali bersama , bermain ayunan bersama seperti dulu! dengar Bu!" Celoteh Ivay sambil menutup kedua daun telinganya dan menggerakan tubuhnya yang masih duduk meringkuk dengan maju mundur dan seperti menggigil.
     "Aku mau mati saja Bu! tak tahan rasa rinduku ini!!!" Ulang lagi katanya.
Ia pun menangis kesakitan dan sesekali ia merasakan sesak nafas di dadanya sambil tangan kanan nya memegang dada yang kesakitan dan tangan kiri menutup betul-betul mulutnya yang berusaha 'tuk berteriak.
Tak tersadar ia pun terlelap dalam tidur nya mungkin karena ia terlalu lelah menangis dan menjerit kesakitan yang merindukan ibunya.
Malam itu ia tertidur disofa depan dan masih dengan keadaan duduk meringkuk. Ayah Ivay pun menggendong Ivay dari ruang tamu depan sampai ke kamarnya.
     "Mungkin kau terlalu lelah nak , ya lelah , lelah merindukan Ibu mu"
Kata Ayah Ivay sambil menyelimuti Ivay dengan selimut katun merah marun milik mendiang Ibunya.
     "Ayah sangat menyayangimu Nak" diciumnya Ivay oleh Ayahnya.
Matahari terbit dari ufuk timur sampai kembali lagi terbenam ke ufuk barat. Ivay masih tertidur pulas entah mengapa ia seperti itu sungguh seperti orang yang sedang koma.
Kakak Ivay yang pertama bernama Via datang menghampiri kamar Ivay dan berniat untuk mengajak ia makan malam bersama di ruang makan bersama Ayahnya , Kak Via dan Kak Kiky yang sudah menunggu lama di ruang makan.
    "Vay yuk makan sama kita , Ayah dah nunggu lho!" mengetuk pintu berkali-kali dan tanpa sautan bahkan tak terdengar suara dari Ivay sendiri.
Tiba-tiba betapa tak terkejut Kak Via mendapati Ivay membukakan pintu dengan senyum dingin dan tanpa menatap Kakaknya ia langsung menuju ruang tengah dan duduk mendepis dan sesekali tersenyum dingin dengan keluarganya.
    "Dik , makan sama Ayah ya? jangan kayak gitu gak baik!" tanya Ayahnya dengan nada pelan halus sambil menepuk pundak Ivay yang sedang membelakangi ruang makan. Ia hanya menggeleng dan tersenyum lagi namun dia tetap tak memandangi lawan bicaranya melainkan menatap garis lurus matanya dengan tatapan kosong.
    "Ayah , Dik Ivay sudah berumur 16 tahun kemarin" dengan menatap Ayahnya dan kembali menatap lurus.
    "Iya Dik , Dik Ivay kenapa? cerita sama Ayah" Ayah Ivay merangkak menuju arah depan Ivay dan berjongkok agar mata Ivay bertemu mata Ayah Ivay kemudian Ayah Ivay memegang kening Ivay dengan pelan.
    "Astaga Ivay suhu badanmu panas sekali , ikut Ayah ke dokter" sambil menatapi Ivay dengan rasa khawatir yang sangat berlebihan.
    "Ayah , Ivay rindu Ibu yah.. Ayah tau?" dengan menoleh ke tatapan Ayahnya dan memegang kedua pundak Ayahnya.
Malam itu berlalu dengan suasana keluarga yang sangat haru karena Ivay , tiba pagi dan Ivay pun kembali bangkit dari keterpurukan nya dan mengawali hari dengan senyum nya walaupun senyumnya tak seperti biasanya.
Pagi itu ia menyesap teh panasnya pelan dan memandangi ke luar jendela. Angin pagi itu sangat dingin ia hampir-hampir menggigil karena rasa dingin mulai menembus sweter tebalnya.
Beberapa menit kemudian Ivay pergi keluar rumah dan tanpa berpamitan dengan orang rumah , namun tanpa ia sadari Ayahnya membuntuti nya dari belakang dan terus memantau ia dari kejauhan. Ternyata Ivay ke makam Ibu nya yang tak jauh dari tempat tinggal nya.
     "Ayah , jangan seperti anak TK cepat keluar dari semak-semak yah Ivay tau" sautnya Ivay dengan nada sedikit menggurau pada Ayahnya
    "Loh kok Adik bisa tau kalo Ayah membuntuti hehe" jawab Ayahnya dengan tertawa terpingkal
Akhirnya Ayah Ivay dan Ivay pergi bersama menuju makam Ibunya mereka bergandengan dan setiba di makam Ibunya Ivay mendadak mencium nisan Ibunya dan berkata
    "Bu Ayah masih seperti anak kecil Bu sukanya mengumpat Bu" dimulainya candaan dari Ivay
Sepulang dari makam Ibunya Ivay dan Ayahnya kembali kerumah dan berusaha menutupi kepedihan sekeluarga.
    "Vay kakak mau pergi" saut Kak Via dengan Ivay
    "Hayo mau kemana kau kak?" Alis Ivay terangkat tinggi dan ia melotot ke arah Kak Via
    "Mau pergi nonton , memang kenapa?" tanyanya pada Ivay yang menatap kedua matanya itu dengan kening berkerut
    "Jangan bilang pergi bersama pacar , aku ikut" bergegasnya Ivay mengikuti kakaknya dan mereka pergi bersama dengan perasaan bahagia dengan sedikit melupakan kesedihan yang ada.



TO BE CONTINUED...........................